PPDB Zonasi Mengembalikan Fungsi Sekolah untuk Masyarakat
Sekolah dan Masyarakat adalah mitra yang utuh |
Bincang-bincang dengan beberapa warga masyarakat dan juga anggota komite suatu sekolah, tiba-tiba menyadarkan kembali tentang mengapa sebuah sekolah didirikan di suatu tempat tetapi ironisnya warga di situ menyekolahkan anaknya di tempat yang lain. Kalau memang alasannya sangat kuat, misal karena ingin mondok atau ingin kuat ilmu agamanya, masih bisa ditoleransi. Tetapi jika karena adanya berbagai bonus gratisan + memberikan penilaian "kurang baik" mengenai keberadaan sebuah sekolah pemerintah, kukira bukan begitu caranya.
Jika itu dilakukan oleh guru sekolah di jenjang sebelumnya, apalagi sama-sama sekolah pemerintah, perlu dipertanyakan jiwa nasionalisme guru tersebut. Jika itu dilakukan oleh warga bahkan oleh perangkat sama saja perlu dipertanyakan rasa terima kasihnya kepada negara. Jika itu dilakukan oleh sekolah "pesaing" juga amat disayangkan, sesama pendidik tetapi menyerempet-nyerempet melakukan "pembodohan masyarakat". Toh..pemerintah, sudah terlalu baik dengan memberikan berbagai fasilitas kepada semua sekolah baik negeri atau swasta, marilah untuk bersama-sama memberikan pembelajaran yang sehat buat masyarakat.
Kita juga bisa melihat gambar di atas, kalau tidak salah pawai yang melibatkan sekolah dan masyarakat untuk berkiprah dalam ajang yang sama. Seandainya antara sekolah dan masyarakat tidak ada rasa sehati, dapat dipastikan kegiatan tersebut akan "garing". Ketika pun kegiatan itu pesertanya khusus siswa, maka warga pun akan ikut berkontribusi dengan menonton maupun berjualan di sana. Para pedagang di sana pun bukan sekedar dalam konteks ekonomi tetapi juga bentuk partisipasi dukungan masyarakat.
Itu adalah contoh kecil antara sekolah dan masyarakat harus saling memiliki dan menjaga. Sekolah bukanlah sebuah instansi dengan gerbang tertutup serta dibatasi tembok tinggi dan rapat, tetapi harus membuka dirinya untuk memberikan kemanfaatan pada masyarakat. Masyarakat pun akan merasa memiliki dan ikut menjaga keamanan sekolah tersebut dan juga kenyamanan para guru dan siswa yang sekolah di situ.
Sehingga ketika ada orang tua datang ke sekolah tidak merasa dirinya sebagai "pesakitan" karena anaknya melanggar tata tertib. Tetapi juga datang dengan berbagai ide atau gagasan yang akan disampaikan kepada sekolah agar dapat memberikan pelayanan yang lebih baik misalnya. Saya terenyuh ketika ada orang tua datang ke sekolah kemudian melepas sandalnya, mungkin karena takut akan mengotori lantai sekolah. Kejadian ini bukan sesuatu yang sederhana, tetapi ada rasa bagi orang itu jika posisinya tidak selevel dengan sekolah. Sekolah adalah tempat yang sangat terhormat. Bak menara gading. Boro-boro bicara tentang harapan mereka ke sekolah, sebatas datang dengan membawa "kekhawatiran" atau "rasa bersalah" atas apa yang dilakukan anaknya saat di sekolah.
Kembali ke judul tulisan di atas, bagaimana PPDB Zonasi ini sebenarnya mengembalikan fungsi sekolah kepada masyarakat. Kita gunakan logika sederhana, sebuah sekolah favorit pasti akan didatangi oleh calon siswa yang pintar atau siswa yang tidak terlalu pintar tetapi bisa memberikan sumbangan lebih ke sekolah tersebut. Apakah di sekolah favorit tersebut ada calon siswa dari keluarga miskin. Pasti atau mungkin ada, jika calon siswa tersebut memiliki prestasi atau kecerdasan di atas rata-rata. Tetapi berapa prosentasenya?
Apakah di sekolah tersebut ada calon siswa yang "bodoh" dan juga dari keluarga miskin. Mungkinkah sekolah favorit itu masih mau menerimanya? Atau menerima tetapi menakut-nakuti dengan berbagai beban pendidikan yang tidak ditanggung semua sebagai layaknya "warga negara miskin". Dan juga diberi gambaran calon siswa tersebut tidak bisa mengimbangi calon siswa lain yang dianggap cerdas-cerdas.
Secara umum berani dikatakan, tidak ada tempat bagi siswa miskin dan bodoh berada di sekolah favorit.
Di sinilah pentingnya PPDB berbasis zonasi yang akan memeratakan pendidikan untuk semua warga. Jika ada siswa miskin dan bodoh memiliki tempat tinggal bersebelahan dengan sekolah favorit tetapi tidak bisa atau tidak berani masuk sekolah situ maka selamanya siswa tersebut akan tetap miskin dan bodoh. Apakah berlebihan anggapan seperti itu seperti sudah tahu takdir dia di masa depan. Masalahnya bukan sok tahu tetapi bicara peluang.
Anak tersebut tertolak oleh sekolah favorit yang lokasinya 1 RT bahkan berhimpitan tembok rumahnya. Maka siswa tersebut akan bersekolah di tempat lain yang lebih jauh dan tentunya bukan sekolah yang bagus. Asumsinya sekolah favorit tersebut adalah sekolah yang bagus. Sudah "bodoh" dapat sekolah yang "jelek" bagaimana peluang dia nantinya. Demikian juga bagaimana dengan orang tuanya. Harusnya bisa irit tidak mengeluarkan transport jika anaknya bisa bersekolah di situ. Kenyataannya anaknya sekolah di tempat yang jauh dari rumahnya. Pengeluaran bertambah. Uang yang bisa digunakan untuk membeli buku teks/bacaan buat anaknya habis hanya untuk transportasi. Gambaran sederhana saya seperti itu. Siswa bodoh dan miskin tidak ada tempat untuk berkembang dengan lebih baik. Boleh sih jika dari pembaca yang berkeberatan dengan pendapat saya.
Sekarang mari kita lihat sebuah sekolah di pinggiran yang tidak bermimpi menjadi sekolah favorit. Bagaimana gambarannya dengan kebijakan PPDB Zonasi ini sebagai bagian dari kebijakan merdeka belajar.
Sekolah tersebut sebelumnya dipenuhi oleh calon siswa yang secara prestasi dari yang paling bawah sampai level menengah. Ke manakah yang pintar apakah tidak sekolah di situ? Tentunya ada beberapa karena berasal dari keluarga yang tidak cukup kaya untuk mengeluarkan biaya pendidikan tambahan jika bersekolah yang jauh dari situ. Demi sekolah lain yang dianggap lebih maju dan favorit.
Ketika kondisinya seperti itu, siswa yang pintar serta berada dari keluarga kaya cenderung tidak mau berkontribusi untuk memajukan sekolah yang berada di dekat rumahnya. Sekolah itu semakin susah maju karena ditinggalkan oleh calon siswa yang pintar plus berpunya. Isinya tinggal siswa-siswa di level bawahnya serta berasal dari keluarga yang tak punya. Karena orang tua yang punya banyak uang meski anaknya tidak terlalu pintar masih terobsesi untuk menyekolahkan di sekolah yang jauh di sana.
Apakah hal ini akan terus berulang. Jika ada siswa yang pintar dan berasal dari keluarga yang terpandang tetap menyekolahkan anaknya di dekat rumahnya. Itu adalah contoh warga negara yang sangat baik. Merasa memiliki sekolah yang didirikan di wilayahnya. Punya kesetiaan yang sangat tinggi dengan sekolah. Siap memajukan sekolah bukan hanya lewat anaknya yang pintar tetapi juga lewat sumbangan pikiran maupun material yang tidak sedikit buat sekolah tersebut. Sayangnya, orang yang tua seperti itu, tampaknya susah ditemukan.
Dengan kesadaran PPDB berbasis zonasi, maka peluang sekolah-sekolah pinggiran untuk maju semakin besar. Dengan input siswa yang baik serta tingginya dukungan/sumbangan warga sekitar yang merasa ikut memiliki. Mereka menjadi sadar bahwa didirikan sebuah sekolah di dekat rumah sebagai suatu anugrah. Dan menyadarkan mereka secara moral, untuk menghidupi sekolah tersebut dengan menyekolahkan anaknya di sana.
Apakah siswa yang pintar dan berasal dari keluarga mampu kehilangan kemerdekaannya untuk mendapatkan sekolah negeri yang favorit? Tentunya tidak. Ada peluang masuk ke sekolah yang dianggap favorit yang jauh dari rumahnya asalkan punya prestasi yang lebih.
Atau usul saya, orang-orang kaya silahkan menyekolahkan anaknya di sekolah swasta yang bagus semahal apapun agar anaknya bisa berkembang dengan lebih baik. Biarkan kuota sekolah negeri "yang favorit" diisi terlebih dahulu oleh siswa dari berbagai level kecerdasan dan level kemiskinan.
Atau sekolahkan anaknya di sekolah dekat rumah yang tidak favorit agar lebih memiliki kemanfaatan untuk memajukan sekolah tersebut. Tunjukkan sebagai warga negara yang baik dengan menghargai fasilitas yang telah didirikan oleh pemerintah.
Sehingga marilah bersama-sama untuk memajukan pendidikan di negara ini tanpa diskriminasi. Semua berhak untuk menjadi maju. Calon siswa berhak mendapatkan sekolah yang dekat dan favorit. Sebaliknya, sekolah "biasa" juga berhak mendapatkan siswa yang terbaik dengan dukungan terbaik juga dari orang tua/masyarakat.
Semoga merdeka belajar terwujud dengan lebih cepat melalui kesadaran bersama. Demi negeri Indonesia tercinta ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar