Memerdekakan Siswa Melalui Coaching
Sumber gambar : https://www.trainingjournal.com/articles/features/coaching-model-library-introduction |
Siswa yang hadir ke sekolah bukanlah kertas kosong yang bisa diisi semaunya. Mereka datang dengan berbagai latar belakang, kemampuan, dan potensi yang berbeda. Di sinilah coaching dilakukan sebagai cara agar siswa mampu mengenali dirinya sendiri yang akhirnya akan melejitkan potensi yang dimilikinya. Dengan melalui coaching ini siswa dapat menentukan sendiri tujuan yang akan dicapai selama mengikuti pendidikan di sekolah serta memaksimalkan potensinya secara merdeka.
Setiap siswa memiliki keinginan dan kemampuan yang berbeda. Ada yang memiliki kemampuan di atas rata-rata temannya ada juga yang membutuhkan bimbingan teknis terkait dengan materi pelajaran baik dari sisi pengetahuan, sikap, maupun ketrampilannya. Siswa yang hanya membutuhkan punya target/tujuan bisa kehilangan motivasi belajarnya ketika dituntut untuk "menurut" pada arahan gurunya. Sebaliknya siswa yang butuh bantuan secara teknis akan menjadi "putus asa" ketika hanya mendapatkan motivasi dari gurunya.
Siswa yang memiliki trauma masa lalu (misalnya mendapatkan rasa malu di depan kelas), akan kesulitan ketika diberi target pemenuhan belajarnya apalagi diberi target rangking di kelas. Siswa tersebut harus disembuhkan luka masa lalunya agar menjadi netral dulu. Siswa yang kesulitan menghitung bilangan pecahan perlu dibimbing dengan cara diajari. Siswa yang sudah terbiasa membuat video yang indah hanya perlu diberi target yang lebih menantang bukan diajari membuat video sesuai cara kita. Di sinilah seorang guru harus bisa memposisikan dirinya kapan sebagai konselor, kapan sebagai mentor, dan kapan sebagai coach.
Dalam berperan sebagai coach ini, guru harus lebih banyak membantu siswa untuk belajar ketimbang mengajarinya. Dalam coaching ini, guru fokus pada solusi, target yang akan dicapai siswa, serta proses yang dijalani. Guru harus lebih banyak mendengar. Guru fokus pada apa yang terjadi pada siswa (coachee). Guru harus mengesampingkan berbagai kepentingan, penilaian diri, dan asumsi apapun saat bertindak sebagai coach. Sehingga, siswa dalam melakukan tindakannya adalah sesuai dengan yang diinginkan/dipikirkannya sendiri bukan seperti yang diinginkan/dipikirkan gurunya.
Di sinilah, coaching sebagai salah satu bentuk komunikasi untuk memerdekakan siswa agar berpikir dan bertindak sesuai kesadaran diri dalam memahami potensinya. Seorang guru hanya memantik, memfasilitasi, memberikan gambaran atas berbagai alternatif pilihan, serta "menemani" perjalanan siswa dalam mencapai tujuannya.
Bagaimana? Siapkan Bapak/Ibu Guru melakukan coaching pada siswanya?
Mantap sangat menginspirasi
BalasHapusmasih miskin referensi mas..kurang tajam kupasannya
Hapus