Enigma Wajah Orang Lain - Emmanuel Levinas
Mengapa manusia tega membunuh sesamanya demi ideologi dan ajaran tertentu? Di mana rasa kemanusiaanya? Apa sebetulnya yang dilihat oleh para algojo ini dalam pikiran korbannya? Ancaman? Musuh? Sesuatu yang disingkirkan dan dibasmi (Tjaya, 2019 : 3).Bukan pertanyaan yang mudah dijawab. Tetapi dalam kenyataannya, makin mudah mengambil nyawa orang lain, setidaknya menganggap orang lain sebagai makhluk yang bersalah, menjijikkan, dan pantas dimusnahkan. Hal ini ditambahi oleh orang-orang yang tipenya menjadi penyebar kebencian. Sehingga memicu orang lain yang tidak tahu apa-apa ikut menggilas "musuh-musuh" mereka.
Bagaimana bisa melihat mereka sebagai yang lain (the other). Bagi kita yang memiliki rasa kemanusiaan pun akan melakukan pertanyaan yang sama. Begitu berkecamuk di pikiran Levinas. Beliau sendiri, kehilangan hampir seluruh keluarganya di tangan Nazi. Bayangan mengenai Holocaust dan Shoah menjadi tumor yang tak tersembuhkan. Kita pun bisa belajar bagaimana kebencian dengan orang lain pun terjadi di negeri ini. Seandainya mereka melihat yang lain dengan penuh kebaikan, tentunya tak akan terjadi berbagai tragedi kemanusiaan. Meski tidak sekelompok, setidaknya menganggap sama-sama menjadi manusia.
Ketika gagasan, ideologi, ajaran, doktrin, bahkan yang bersifat religius sekalipun, dijunjung tinggi di atas segala-galanya, manusia dengan mudah kehilangan rasa-perasaannya terhadap sesamanya yang juga manusia seperti dirinya. Di negara Indonesia, di mana nilai-nilai demokrasi dan Pancasila sering didengungkan, harga dan nilai nyawa seorang manusia seringkali tidak ada apa-apanya. Penghancuran dan pembunuhan massal yang membabi buta dan tak mengenal rasa kemanusiaan pun terjadi dengan mudah. Dalam bahasa Levinas, manusia telah kehilangan wajah.
Bagi Levinas, etika bukan sekedar mengenai hal yang baik dan buruk, tetapi lebih bagaimana melakukan relasi dengan Yang-Lain. Yang etis bukan saja berarti tidak mendominasi Yang-Lain tetapi juga membiarkan diri kita diinterupsi dan dipertanyakan olehnya. Kecenderungan manusia untik mendominasi segala sesuatu yang lain ke dalam dirinya sendiri, termasuk ke pemikirannya sendiri, yang biasanya akan menyebabkan relasi tidak etis.
Enigma wajah orang lain memperlihatkan bahwa ia bukanlah sekedar pengada yang dijadikan obyek, melainkan memuat transendensi yang harus dihormati penuh.
Apa yang diperjuangkan oleh Levinas seringkali disebut sebagai "humanisme untuk orang lain" (humanism for Other) (Tjaya, 2019 : 162).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar