Mengembalikan Pemikiran Intelektual Indonesia
Judul : Paradigma Berpikir Profetik Musa Asy’arie : Rekonstruksi Metodologi Berpikir Profetik dan Filsafat Eksistensialis Teo-Antroposentrisme
Penulis : Zaprulkhan
Penerbit : Lesfi (Lembaga Studi Filsafat Islam), Yogyakarta
Tahun :Juni 2020
Tebal :391 halaman
Buku ini ditulis sebagai bentuk kekhawatiran penulis tentang makin tenggelamnya pemikiran dari para intelektual asli Indonesia seperti Hasyim Asy’ari, Ahmad Dahlan, Buya Hamka, Gus Dur, Cak Nur, Kuntowijoyo, Dawam Rahardjo dan pemikir lainnya. Para mahasiswa dan dosen-dosen baru justru lebih akrab dengan para “teolog, ulama, dan da’I dari Timur Tengah ketimbang para ulama dan cendekiawan kita sendiri (Zaprulkhan, 2020 : 8-9). Lebih lanjut, bagi penulis, Indonesia telah mengalami adanya epistemological break atau epistemological connection, keterputusan epistemologi dari khazanah kita sendiri (Zaprulkhan, 2020 : 10).
Ada 5 core pemikiran Musa Asy’arie. Pertama, paradigma teologi integralistik. Wacana tauhid bukan hanya bermakna teologis, yaitu Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta alam semesta yang wajib disembah, tetapi juga memiliki makna kosmologis, antropologis, dan kebudayaan. Kedua, paradigma berpikir multidimensional. Yakni adanya kerja sama antara agama, filsafat, dan teknologi secara harmonis. Ketiga, filsafat eksistensialis teo-antroposentrisme. Yakni wacana tauhid yang menyatukan posisi manusia sebagai khalifah dan abd yang mengintegrasikan kapasitas akal dan qalbu sehingga menjadikan menusia sebagai subyek kreatif. Keempat, trilogi ekonomi Islam. Yakni mencakup teolog ekonomi Islam, kosmopologi Islam, dan antropologi Islam. Kelima, epistemologi rekonstruksi metodelogi berpikir profetik. Yang mengkaji mengenai metode rasional transendental atau metode berpikir profetik dalam menyoroti pelbagai persoalan kehidupan.
Bagi Musa Asy’arie, meneladani Nabu Muhammad SAW sebagai seorang pemimpin keluarga dan pendidik, pemimpin militer dan negarawan, sebagai hakim dan pribadi yang mulia serta berbagai aspek kehidupan lain tidaklah cukup. Baginya, selain sebagai figur insan kami, Nabi Muhammad SAW juga seorang sosok pemikir agung; sebagai figur besar secara rasional-transendental. Di sinilah kita mulai melakukan proses berpikir profetik; proses berpikir kenabian sebagai proses pemikiran yang rasional transendental.
Melalui buku ini, penulis berharap bahwa pemikiran intelektual Indonesia kembali bergaung. Hal ini juga selaras dengan keinginan Musa Asy’arie yakni perlunya meletakkan landasan berpikir profetik untuk melakukan pemikiran yang bebas dengan bersandar pada Qolbu.
Bagaimana? Menarik bukan paradigma pemikiran profetik Musa Asy'ari ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar