Meniscayakan Perubahan Kurikulum (dari era penjajahan - merdeka belajar)
Perubahan kurikulum adalah keniscayaan. Perubahan kurikulum ini saya yakini bukan karena pergantian menteri atau pemerintahannya. Jadi sebenarnya tidak perlu kaget atau terlalu menghubung-hubungkan antara pergantian menteri atau kekuasaan. Hal itu terjadi secara alamiah sebagai jawaban terhadap tuntutan zaman.
Kurikulum ini terus berubah karena situasi yang terus berkambang serta karena kebutuhan tertentu. Misalnya di Indonesia, yang telah mengalami banyak perubahan kurikulum sejak zaman penjajahan. Pada zaman penjajahan, kurikulum dijadikan sebagai alat politik untuk melanggengkan kepentingan penjajah di negara jajahan termasuk kepentingan politik di negara asalnya.
Arifin (2012 : 2) menuliskan bahwa kurikulum merupakan soal pilihan (curriculum is a matter of choice). Pilihan itu biasa dilakukan oleh "orang yang berkuasa", seperti yang dilakukan oleh Jepang dan Belanda pada masa penjajahan. Dan setelah Indonesia merdeka, maka kurikulum pun berubah sesuai kebutuhan bangsa ini.
Dalam sejarahnya, Indonesia mengalami perubahan kurikulum sejak tahun 1945, dan terus berubah pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2006, dan tahun 2006. Perubahan ini sebagai konsekwensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat, berbangsa, dan bernegara (Wirianto, 2014:134). Pada tahun 2013 dikenal adanya kurikulum 2013 yang merupakan pengembangan dari KBK dan KTSP. Berbagai terminologi yang kita kenal terkait dengan kurikulum, adalah CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi, KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), kurikulum darurat dan sekarang ada Kurikulum Merdeka Belajar.
Dalam situasi pembelajaran di era pandemi saat ini, berbagai strategi telah dilakukan oleh semua pihak tetapi hasilnya belum optimal. Berbagai temuan menunjukkan adanya ketertinggalan pembelajaran (learning loss) maupun kesenjangan pembelajaran (learning gap) baik karena keterbatasan fasilitas yang dimiliki, pemenuhan pembelajaran yang jauh berbeda dibanding masa sebelumnya dan faktor lainnya. Untuk itu pemerintah mencanangkan adanya kurikulum darurat yang dianggap mampu menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap upaya pemulihan pembelajaran pada pandemi Covid-19 (Anggraena dkk, 2021 : 6-9).
Berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan kurikulum yang ada, didapatkan temuan bahwa diperlukan kurikulum yang sederhana, mudah diimplementasikan, decentralized dan flexible. Dan pemerintah Indonesia melalui kemdikbud memberikan opsi penggunaan kurikulum, yaitu Kurikulum 2013 secara utuh, kurikulum darurat, dan kurikulum merdeka (Anggraena dkk, 2021 : 21-25).
Pemberian opsi ini, tentunya jangan menjadi bumerang atau membingungkan satuan pendidikan atau sekolah, tetapi justru sebagai peluang untuk mengembangkan kurikulum yang akan dipilihnya sesuai dengan analisis kebutuhan sekolah masing-masing. Hal ini sesuai dengan filosofi Merdeka Belajar seperti yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantoro.
Beberapa hal prinsip yang perlu diperhatikan dalam pemberian kurikulum adalah : (1) sederhana, mudah dipahami dan implementasikan; (2) fokus pada kompetensi dan karakter semua peserta didik; (3) fleksibel; (4) selaras; (5) bergotong royong; dan (6) memperhatikan hasil kajian dan umpan balik ((Anggraena dkk, 2021 : 29).
Untuk mewujudkan itu semua perlu adanya perubahan mindset pada kita semua agar dalam melakukan pembelajaran benar-benar mempertimbangkan potensi dan karakter peserta didik sehingga pembelajaran akan lebih nyaman dan menyenangkan. Selain itu, kita tentunya perlu mempelajari berbagai pengetahuan baru misalnya dengan mengkaji filosofi merdeka belajar serta menerapkannya. Bagaimana mengembangkan budaya positif, melakukan pembelajaran sosial emosional, pembelajaran diferensiasi, melakukan komunikasi coaching dan pengetahuan-pengetahuan/ketrampilan baru yang dibutuhkan.
Dan menyongsong penerapan kurikulum merdeka dengan berbagai levelnya, kita mulai membiasakan untuk melakukan pembelajaran berbasis proyek (Pjbl) maupun membuat bahan ajar secara mandiri sesuai dengan rencana pembelajaran yang kita buat. Dengan demikian, apapun kurikulumnya kita selalu siap sedia baik demi pemenuhan tuntutan kurikulum tersebut dan utamanya untuk memenuhi kebutuhan peserta didik sesuai dengan karakteristiknya masing-masing. Sehingga mereka akan mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya baik sebagai pribadi maupun anggota masyarakat.
Jadi, tak ada yang salah dengan perubahan kurikulum. Kurikulum itu tepat pada zamannya, dan harus berubah atau berkembang ketika situasi/ tuntutan/ kebutuhan berubah. Ketika kurikulum tidak mau berubah atau tidak boleh berkembang maka ciri-ciri kemunduran pendidikan.
Segalanya berubah. Tidak ada yang abadi atau tetap kecuali perubahan itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar