Pentingnya Penilaian Formatif dalam Implementasi Kurikulum Merdeka
Penilaian formatif seharusnya menjadi hal yang sangat esensial untuk mengetahui perkembangan pembelajaran di kelas. Bukan hanya saat mengimplementasikan kurikulum merdeka, tetapi dalam kurikulum apapun. Orientasi pada hasil semata, membuat banyak pihak yang memandang sebelah mata pada proses bahkan menimbulkan celah menggunakan segala macam cari agar mendapatkan hasil yang maksimal.
Penggunaan kata maksimal ini saya pakai, sebagai pengganti kata optimal. Karena memang keduanya berbeda (menurut saya). Nanti akan kita bahas pada postingan yang berbeda definisi maksimal dan optimal tersebut.
Dalam implementasi kurikulum merdeka ini, raport atau hasil penilaian bukanlah sekumpulan angka-angka semata-mata. Deskripsi pencapaian anak, baik pencapaian terbaik atau saat melakukan proses pembelajaran yang belum optimal menjadi catatan deskripsi yang sangat berarti.
Misalnya, ada seorang anak mendapatkan angka 80, dengan kriteria ketuntasan minimal (KKM) sebesar 70, dianggap anak itu telah tuntas. Selesai, tak perlu banyak komentar. Begitu paradigma penilaian yang berbasis pada angka atau hasil akhir semata. Hal ini berbeda jika kita memang peduli dengan proses yang pernah dilakukan.
Dalam laporan penilaian akan muncul deksripsi yang menggambarkan proses pembelajaran. Kapankah siswa tersebut pernah mendapatkan pencapaian yang paling tinggi dan kapan mengalami pencapaian terendah. Data pencapaian terendah dan tertinggi tersebut akan menjadi catatan yang berguna bagi siswa, orang tua, maupun guru pada semester/kelas berikutnya.
Sehingga ketika seorang anak mendapatkan angka 80 dengan kriteria ketercapaian tujuan pembelajaran (KKTP), misalnya dengan rentang 70 - 85 dianggap tuntas maka masih memerlukan penjelasan lain dalam bentuk kualitatifnya. Boleh jadi anak tersebut pernah mendapatkan nilai 95 karena selain dapat menyelesaikan tugasnya dengan kelompoknya tetapi juga dia sebagai nara sumber bagi teman yang lain atau membantu kelompok lain yang membutuhkannya. Sehingga saat yang lain mendapatkan kriteria baik, dia mendapatkan predikat amat baik. Data ini diperoleh dari catatan formatif yang diberikan guru pada saat pembelajaran. Demikian pula, boleh jadi anak tersebut pernah mendapatkan nilai 70 yang artinya hanya berada pada batas KKTP, maka data tersebut pun bisa menjadi pengingat bagi siswa tersebut sekaligus menjadi acuan bagi guru setelahnya.
Jadi dalam penilaian di rapot nantinya membutuhkan dua jenis nilai, yakni secara kuantitatif (angka) yang diperoleh dari nilai sumatif maupun penggabungan dengan asesmen tengah semester atau akhir semester (jika dibutuhkan) maupun dalam bentuk kualitatif (deskripsi) yang didapatkan dari penilaian formatif.
Menjadi bermakna atau tidak deskripsi tersebut ditentukan seberapa jelas dan detil dekripsi yang dibuat. Perhatikan contoh deskripsi sebagai berikut dalam pelajaran IPA kelas VII :
Andi belum menguasai cara menggunakan jangka sorong.
Andi masih melakukan kesalahan cara membaca jangka sorong saat melakukan pengukuran.
Andi masih melakukan beberapa kali kesalahan saat membaca skala nonius.
Begitu seterusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar