Sabtu, 17 Agustus 2024

Bangun Budaya Positif, Wujudkan Pembelajaran Berdiferensiasi

Bangun Budaya Positif, Wujudkan Pembelajaran Berdiferensiasi

Apakah mereka membaca buku yang sama?

Pembelajaran berdiferensiasi yang optimal tidak serta merta terwujud. Meski keragaman itu sebuah keniscayaan sehingga pembelajaran berdiferensiasi pun harusnya menjadi keniscayaan. Kenyataan,  membangun budaya positif budaya positif bukan hal yang mudah. Dan ketika yang dimaksud adalah sebuah kondisi di mana siswa menjadi tunduk dan patuh, serta guru menganggap tujuan pembelajaran juga telah tercapai maka itulah kondisi yang diharapkan. 

Tunduk dan patuh ini dalam arti apapun, termasuk dengan pembelajaran yang sesuai dengan skenario pembelajaran. Misalnya, guru menyampaikan video dan siswa menuliskan kata kunci atau pertanyaan. Siswa berdiskusi kelompok menjawab pertanyaan, guru mendampingi. Siswa melakukan presentasi guru mengapresiasi. Kemudian diselenggarakan tes untuk menguji, dan siswa mengerjakan dengan baik. Begitu seterusnya. Apakah kepatuhan seperti ini yang diinginkan sebuah budaya positif?


Ketika saya mengetikkan kata budaya positif, maka google dengan sigap (tentu dengan AI-nya)  menawarkan atau memberikan penjelasan seperti di atas. Yakni budaya positif sebagai nilai-nilai/keyakinan/kebiasaan untuk mendukung murid agar memiliki karakter yang baik. Karakter yang dimaksud bisa kritis, hormat, tangung jawab, gotong royong, kolaborasi, rasa peduli dan lainnya. Budaya positif menjadi fondasi utama untuk menciptakan lingkungan belajar yang mendukung dan motivasi murid. Di sini murid merasa diterima, aman, serta aktif dalam pembelajaran.

Dari uraian di atas dapat dijabarkan bahwa bahwa :
1. Karakter murid bukan hanya hasil dari pembelajaran tetapi juga diperkuat dari budaya positifnya. Misalnya, seorang guru yang membiasakan berdiskusi maka sebenarnya juga sedang mengajarkan tentang kerja sama, kolaborasi, atau gotong royong. Semakin sering guru tersebut melakukan pembelajaran kelompok maka langsung atau tidak langsung membiasakan murid untuk saling berkolaborasi. Dan ini pun butuh intervensi agar tidak terjebak ke arah kompetisi antar individu dalam kelompok maupun kelompok yang satu dengan yang lain.

Karakter ini makin kuat dengan adanya dukungan iklim atau budaya sekolah yang menguatkan ke arah sana. Seperti diketahui bersama bahwa karakter di sekolah diajarkan baik secara implisit atau eksplisit dalam mata pelajaran, ekstrakurikuler, pembiasaan, serta budaya dan iklim sekolah.

2. Dalam pembelajaran perlu memperhatikan kebutuhan murid seperti rasa aman dan  rasa diterima sehingga mereka akan semakin terlibat aktif. Motivasi yang diharapkan tentunya sebuah motivasi intrinsik, yang nantinya akan kental dengan disiplin positif.
Bukan karena takut hukuman atau mengharapkan imbalan, tetapi kesadaran diri untuk terus belajar karena ada nilai yang diyakini atau ada sesuatu yang diperjuangkan dalam diri.

Seperti yang dikatakan oleh Tomlinson dalam  bukunya yang berjudul How to Differentiate Instruction ini Mixed-Ability Classrooom bahwa :

"In a differentiated classroom, the teacher proactively plans and carries out varied approaches to content, process, and product in anticipation of and response to student differences in readiness, interest, and learning needs."

Yang dapat diartikan bahwa dalam ruang kelas yang berdiferensiasi, seorang guru secara proaktif merencanakan dan menerapkan berbagai pendekatan konten, proses, dan produk. Hal ini sebagai upaya untuk mengantisipasi dan menanggapi perbedaan siswa dalam kesiapan, minat, dan kebutuhan belajar.

Meskipun menggunakan kata "dan", jangan ditafsirkan dalam pembelajaran maka diferensiasi konten, proses, dan produk harus ada dalam setiap pertemuan. Melakukan perdebatan istilah "and" atau "or", jika tidak memahami esensinya akan menjadikan diskusi makin melebar atau dalam postingan sebelumnya, kita terjebak pada cara bukan prinsip atau visi bersama.

Terkait dengan kesiapan, minat, kebutuhan belajar dalam diferensiasi ini menjadi sangat penting ketika siswa diajak melakukan refleksi awal bersama atau biasa diistilahkan dengan test awal atau diagnosis sebagai dasar untuk membuat strategi yang tepat. Ketika anak terpenuhi kebutuhan belajarnya tersebut maka motivasi intrinsik ini akan terbangun. 

Selain melibatkan murid dalam diagnostik awal ini, siswa coba dilibatkan dalam membuat perencanaan, pelaksanaan, maupun  penilaian pembelajaran. Dengan pelibatan ini, murid akan merasa memiliki sehingga mereka mau memegang tanggung jawabnya sendiri. Di sinilah budaya positif terbangun dan pembelajaran pun benar-benar memenuhi kebutuhan murid dengan tidak lupa dengan tujuan. Tujuan tercapai, anak-anak tidak bahagia. Itu bukan berdiferensiasi. Sebaliknya, tujuan tidak tercapai meskipun anak-anak bahagia itu juga bukan berdiferensiasi namanya.

Catatan : Tomlinson dan McTighe dalam buku Integrating Differentiated Insctruction and Understanding by Design, menuliskan dalam langkah backward design pada tahapan tujuan pembelajaran seharusnya tidak berdiferensiasi, dalam menentukan bukti tujuan tercapai itu mungkin berdiferensiasi, dan dalam aktivitas/langkah-langkah pembelajaran seharusnya berdiferensiasi. 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Daftar Blog Saya

Comments

Postingan Acak

Pengikut

Back To Top