Senin, 05 Agustus 2024

Sekolah Saja Tak Pernah Cukup dan Relevansinya dengan Merdeka Belajar

 Sekolah Saja Tak Pernah Cukup dan Relevansinya dengan Merdeka Belajar

Sekolah Saja Tak Pernah Cukup-Andrias Harefa
Sekolah Saja Tak Pernah Cukup

Buku berjudul Sekolah Saja Tak Pernah Cukup, yang ditulis oleh Andrias Harefa, merupakan buku yang sudah lumayan lama, yakni diterbitkan tahun 2002. Tapi entah, tiba-tiba ada hasrat untuk mengambil buku tersebut yang terselip di perpusda Purbalingga. Saat melihat judul buku itu, langsung terbayang, apakah buku tersebut relevan dengan merdeka belajar. 

Karena setelah mengenal merdeka belajar, kemudian banyak mengkaji pemikiran Ki Hajar Dewantara terkait dengan berbagai filosofi belajarnya. Di awali dengan tujuan pendidikan menurut KHD, yakni “menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat." Anak-anak tersebut selamat dan bahagia dengan menjadi manusia yang merdeka. Merdeka sebagai manusia artinya merdeka yang sebebas-bebasnya sedangkan ketika sebagai anggota masyarakat berarti kemerdekaannya tersebut akan membatasi kemerdekaan sebagai manusia. Yang artinya namanya merdeka bukan saja selain tidak diatur tetapi sekaligus ikut menjaga ketertiban bersama sebagai konsekuensi bermasyarakat.

Dalam buku Andrias Harefa, di bagian awal mengutip apa yang disampaikan oleh Mangunwijaya  bahwa manusia pegawai yang serba tergantung harus diubah menjadi manusia swasta untuk bisa menjadi manusia merdeka. Sayang sekali, pendidikan sebagai salah satu cara untuk merdeka, sejauh ini tenggelam dalam power system bukan counter-education. Bagaimana agar sekarang kita menyusun suatu masyarakat yang dipenuhi oleh orang-orang yang merdeka, manusia yang tuan-tuan dan puan-puan sejati.

Dalam konteks pendidikan sekarang, ada tantangan yang sama, bagaimana agar dunia pendidikan, dalam hal ini sekolah dipenuhi oleh orang-orang yang merdeka. Sehingga para lulusan kita akan menjadi generasi yang kritis, kreatif, dan inovatif bukan menjadi lulusan dengan mental kuli. Di sini perguruan tinggi harus menghentikan menjadikan lulusannya menjadi "siap pakai"  tetapi bagaimana agar menjadi "siap belajar"  tetapi juga "siap hidup".  

Dalam buku Sekolah Saja Tak Pernah Cukup, Andrias Harefa, mengemukakan berbagai pemikiran terkait dengan kritikan terhadap dunia pendidikan seperti yang dilakukan oleh Ellison selaku orang terkaya no.2 dan juga Kiyosaki sebagai pengajar multi jutawan.  Pemikiran lain dikemukakan oleh Nurcholis Madjid selaku Guru Besar dan juga J. Drost  seorang pengajar dan pendidikan kaum muda.

Cak Nur, sebagaimana disampaikan oleh Harefa, membedakan antara visi pembelajaran (moral dan akhlak) dengan visi pengajaran (kurikulum pengetahuan umum dan pengetahuan agama), dan visi pelatihan (keahlian atau kecakapan yang harus disesuaikan dengan konteks zaman dan tempat). Tujuan pembelajaran, pengajaran, dan pelatihan diarahkan untuk melahirkan manusia-manusia Indonesia seutuhnya, dalam arti yang sejati.

Menurut Pater Drost, pendidikan berasal dari kata latin educare yang berarti menggiring ke luar, usaha pemuliaan. Pendidikan itu sebagai pemuliaan manusia atau pembentukan manusia. Pengajaran ini bertujuan agar intelek setiap pelajar berkembang sepenuhnya seukuran talenta. Ringkasnya, pendidikan dan pengajaran di sekolah berusaha mengubah cara kaum muda (bukan jati diri yang tidak bisa atau tidak mungkin diubah, tetapi hanya mungkin ditemukan atau gagal ditemukan) memandang dirinya sendiri dan makhluk insani lainnya, sistem-sistem, dan struktur masyarakat. Hasil pembelajaran adalah menjadikan pria dan wanita yang kompeten, bertanggung jawab, dan penuh perhatian kepada sesama.

Sebuah resep klasik yang berbunyi "Jika kamu mau sukses di masa depan, belajarlah di sekolah terkenal" rasanya tidak berlaku lagi. Sekolah yang paling elite pun tidak mampu lagi membekali dengan pengetahuan dan pegangan yang memadai untuk menghadapi tantangan ini.

Dengan kurikulum merdeka ini, kebijakan zonasi telah mengubah persepsi para orang tua tentang sekolah elit maupun pinggiran. Semua siswa berhak untuk mendapatkan sekolah sesuai jarak terdekatnya. Konsekuensinya, input siswa pun makin beragam bukan didasarkan pada prestasinya. Sampai tulisan ini diturunkan, kuota prestasi masih dipertahankan meskipun harapannya prestasi tidak lagi menentukan.

Semua siswa berhak mendapatkan pendidikan. Para penyelenggara pendidikan, baik sebagai "sekolah favorit" atau tidak, dengan beragamnya siswa karena faktor zonasi ini perlu mengelola para siswa tersebut menjadi optimal potensinya. Sekolah tidak lagi perlu terikat dengan adanya kuota berprestasi, yang secara tersirat ingin tetap "ekslusif". 

Sehingga, marilah kita berupaya melayani pembelajaran yang benar-benar menjawab keragaman siswa berbagai "pola tingkah" atau kebutuhan belajarnya. Tak peduli berapa angka-angka yang terekam dalam jalur prestasi. Kita senantiasa membutuhkan diagnosis yang tepat sehingga strategi yang kita lakukan pun memiliki fleksibilitas yang tinggi.

Semua yang kita lakukan adalah demi mewujudkan pribadi yang merdeka dan bahagia mengoptimalkan diri agar menjadi manusia yang "siap belajar" dan "siap hidup" dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan yang tidak bakal dapat diatasi oleh manusia "yang terjajah" atau "mental kuli".

Belajar Merdeka Belajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Daftar Blog Saya

Comments

Postingan Acak

Pengikut

Back To Top